Tabir Gelap Kekerasan Terhadap Perempuan
blokbojonegoro.com | Tuesday, 27 November 2018 12:00
Oleh: Ichwan Arifin
“Violence against women is not cultural. It is criminal. Equality cannot come eventually. It’s something we must fight for now. “(Samantha Power – mantan Dubes A.S. untuk PBB). Kekerasan terhadap perempuan jika dianggap sebagai budaya akan memunculkan sikap permisif yang melanggengkan perilaku tersebut. Namun, jika dikategorikan sebagai kejahatan maka akan menjadi faktor pencegah terulangnya atau terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan.
Sejarah panjang kekerasan terhadap perempuan di berbagai belahan dunia telah terjadi cukup lama. Namun malam jahanam yang menjadi momentum bagi lahirnya gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan terjadi pada 25 November 1960 di Republik Dominika. Malam itu, 58 tahun silam, tiga perempuan bersaudara, yaitu; Minerva Mirabal, Patricia Mirabal dan Maria Teresa Mirabal dibunuh secara kejam oleh loyalis diktator Rafael Trujillo. Ketiganya dikenal sebagai aktivis pro-demokrasi sekaligus tokoh perlawanan terhadap Rejim Trujillo. Mereka dibunuh dalam perjalanan pulang setelah menjenguk suami Patria dan Minerva dalam penjara penguasa.
Terungkapnya pembunuhan yang diskenariokan sebagai kecelakaan lalu lintas tersebut menyulut kemarahan rakyat Dominika. Akhirnya, gerakan perlawanan tersebut berhasil menumbangkan Trujillo, setahun setelah tewasnya Mirabal bersaudara. Pada 1981, Kongres Perempuan Amerika Latin mendeklarasikan 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Pada 1999, PBB menetapkan tanggal tersebut sebagai “The International Day for the Elimination of Violence Against Women”. Setiap tahunnya, mulai 25 November sampai 10 Desember, dilakukan kampanye internasional yang dikenal dengan sebutan “16 Days of Activism Against Gender-Based Violence” sebagai upaya menggelorakan upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di muka bumi.
Tabir Gelap
Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan masih menjadi tabir gelap yang sulit diungkap, terutama kekerasan yang melibatkan aparat penguasa. Misalnya, dugaan kekerasan terhadap tahanan politik perempuan selepas peristiwa G30S 1965. Carmel Budiardjo dalam “Surviving Indonesia’s Gulag (1996)”, menuturkan kekerasan yang dialaminya selama masa 12 tahun ditahan tanpa proses peradilan dengan tuduhan sebagai anggota PKI. Perempuan berkebangsaan Inggris yang menikah dengan orang Indonesia tersebut, juga mencatat penderitaan tahanan perempuan lain karena tindak kekerasan psikis dan fisik yang dialaminya selama masa penahanan tersebut. Carmel pada akhirnya dibebaskan oleh Rejim Orde Baru (Orba) atas lobby Pemerintah Inggris. Namun lebih banyak tahanan politik perempuan lainnya yang mengalami nasib lebih buruk, terus dipenjara atau atau meninggal dalam tahanan.
Hasil riset Saskia Wieringa yang diberi judul “Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI (2010),” menuturkan upaya pembungkaman gerakan perempuan oleh rejim Orba. Kekerasan yang dialami tahanan politik perempuan yang dituduh PKI dan kampanye stigmatisasi yang tidak hanya ditujukan pada Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) namun juga organisasi perempuan progresif lainnya.
Tabir gelap juga masih menyelimuti pengungkapan kasus penculikan dan pembunuhan Marsinah, aktivis buruh di Jawa Timur. Beberapa hari setelah memimpin buruh menuntut kenaikan upah, Marsinah menghilang. Tiga hari kemudian, mayatnya ditemukan di salah satu hutan di pedesaan Jawa Timur pada 8 Mei 1993 dengan tanda-tanda bekas penganiayaan dan penyiksaan berat. Hingga kini, pelaku pembunuhan yang sesungguhnya belum terungkap setelah Mahkamah Agung (MA) memutus bebas semua terdakwa.
Pengungkapan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi pada saat kerusuhan Mei 1998 seolah mengalami kebuntuan. Selain laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah, dalam laporan yang dipublikasikan November 1999, menyebut adanya tindak kekerasan seksual terhadap perempuan. Bentuknya beragam, yaitu; perkosaan, perkosaan dengan penganiayaan, penyerangan/penganiayaan seksual dan pelecehan seksual. Namun hingga kini, tidak terungkap. Bahkan beberapa pihak justru meragukan kebenaran kejadian tersebut.
Terbaru, kasus Baiq Nurul Maknun, guru honorer di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terancam hukuman penjara selama 6 bulan dan denda Rp. 500 juta karena dinyatakan melanggar Pasal 27 Ayat 1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Semua itu seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak bahwa gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih menghadapi tembok penghalang dan jurang terjal. Tidak hanya dari aspek politik, sosial, budaya, namun juga hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Tantangan
Tantangan yang dihadapi dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak mudah. Antara lain; Pertama, benturan moralitas dan budaya masyarakat, terutama dalam kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan mengemukakan bahwa kekerasan seksual lebih sulit diungkap karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap simbol kesucian dan kehormatan sehingga menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual. Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Di sisi lain, sebagian masyarakat bersikap permisif terhadap kekerasan yang terjadi, apalagi dalam ranah domestik. Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jarang terungkap karena korban atau masyarakat menganggapnya sebagai problem internal rumah tangga.
Ke dua, pemahaman masyarakat tentang konsep kekerasan terhadap perempuan yang belum memadai. Sebagian besar masyarakat memahaminya hanya sebatas kekerasan seksual. PBB mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan atau berpotensi terjadinya kesengsaraan, atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, didepan umum atau dalam kehidupan pribadi. Pemahaman ini menjadi penting karena menjadi dasar penyikapan terhadap tindak kekerasan yang terjadi.
Ke tiga, perubahan bentuk kekerasan sebagai dampak dari kemajuan teknologi komunikasi. Misalnya, prostitusi di bawah umur online, bullying, persekusi online dan sebagainya. Piranti hukum dalam konteks ini kadang justru menjungkirbalikkan posisi korban. Misalnya Baiq, korban pelecehan seksual namun divonis bersalah dalam pelanggaran kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ke empat, domestifikasi peran perempuan. Julia Suryakusuma menyebutnya sebagai ideologi ibuisme negara, di mana rejim Orba “memenjarakan” perempuan ke dalam ranah domestik. Kebijakan politik Orba dalam hal ini telah mereduksi kesadaran kritis perempuan Indonesia ke titik nol.
Reformasi politik telah menjadi pelatuk perubahan. Hasilnya, beberapa kebijakan publik yang ramah perempuan muncul, misalnya affirmative action dalam ranah politik. Pemerintah juga membentuk Komnas Perempuan pada 15 Oktober 1998 sebagai respon atas tuntutan masyarakat kepada negara untuk menangani kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, semau pihak harus turut serta menjadi bagian dari gerakan ini. Sebagaimana perkataan Minerva Mirabal, “merupakan sumber kebahagiaan yang amat sangat untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan bagi negeri kita yang menderita oleh begitu banyak luka, begitu sedihnya jika kita tinggal diam dan mengingkari.”
Tag : tabir, gelap, perempuan, kekerasan, ichwan, arifin
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini