Urgensi Perpustakaan Desa
blokbojonegoro.com | Sunday, 12 June 2022 06:00
Oleh: Usman Roin *
PERPUSTAKAAN-adalah media literasi untuk mencerdaskan manusia. Keberadaannya di manapun menjadi urgen, tidak terkecuali di desa-desa. Terlebih, di kota Ledre ini, berdasarkan Satu Data Bojonegoro pada tahun 2022 sudah ada 252 Perpustakaan Desa (Perpusdes).
Hadirnya angka perpusdes di atas, bagi penulis menggemberikan. Artinya, pepustakaan sudah mendekat di pedesaan Kabupaten Bojonegoro. Perpustakaan bukan lagi “menara gading” ansich milik akademisi. Keberadaanya selain untuk mengakrabkan masyarakat desa terhadap budaya melek baca, juga merupakan panjang tangan perpustakaan umum yang berada ditingkat paling rendah struktur pemerintahan. Hanya saja, dari data yang terekam, masih timbul pertanyaan. Berapa perpusdes yang aktif? Dan bagaimana keberadaannya kini!
Sambutan
Dua hal di atas penulis pertanyakan, agar keberadaan perpusdes bukan sekadar hadir. Kehadiran perpusdes perlu mendapatkan sambutan hangat Pemerintah Desa (Pemdes) untuk ikut berperan mengentaskan buta huruf desa yang dipangkunya. Selain itu, perpusdes perlu diusahakan menjadi gaya hidup iklim literasi hingga tumbuh subur di pedesaan. Apalagi hal itu ditopang dengan tumbuhnya para sarjana, magister, serta doktor dari desa, baik secara mandiri -bayar sendiri- kuliahnya, atau melalui beasiswa yang diberikan Pemkab maupun institusi yang lain.
Secara komprehensif, perpusdes dibentuk dengan tujuan: Pertama, sebagai penunjang wajib belajar. Pada porsi ini, wajib belajar berdasarkan Permendikbud 19 Tahun 2016 adalah 12 tahun sebagai wujud pelaksanaan pendidikan menengah secara universal akan bisa berjalan baik, bila perpusdes ada dan hidup. Keberadaan perpusdes menjadikan literasi masyarakat desa hidup. Hadirnya perpusdes juga menjadi alternatif baru, terdekat -masyarakat desa- bilamana keberadaan perpustakaan di lembaga pendidikan belum optimal.
Ke dua, sarana menyukseskan pendidikan seumur hidup. Pendidikan seumur hidup hakikatnya menjadikan hidup untuk aktif belajar. Paradigma aktif belajar perlu dikampanyekan agar tidak terjadi stigma yang salah kaprah, bila jenjang pendidikan formal adalah akhir dari belajar. Aktif belajar, sebagaimana dipertegas Haidar Baqir (2019:174), bisa mewujudkan kesuksesan duniawi, atau dalam terminologi Al-Qur’an (al-Mujadalah:11), mempertinggi derajat seseorang.
Ke tiga, penyedia sumber bacaan dan keterampilan. Bila fungsi perpustakaan sebagai sumber bacaan, hal itu juga sama dengan perpusdes. Aktifitas membaca, tegas Isma Tantawi (2019:135-141), adalah keterampilan kekinian yang harus dikuasai dan menjadi habit selain berbahasa, menyimak, berbicara, dan menulis. Sementara dalam hal keterampilan, yang dimaksud setelah terpenuhinya kebutuhan informasi masyarakat desa di perpusdes, mereka bisa memperoleh pengetahuan praktis, pragmatis, serta tidak alergi dengan sesuatu yang baru (modern) guna mendukung keberhasilan kegiatan diberbagai bidang baik pertanian, perikanan, peternakan, perindustrian, pengolahan, pemasaran dan lainnya.
Ke empat, terciptanya masyarakat produktif. Artinya, upaya menggalakkan minat baca melalui perpusdes bisa memangkas habis “waktu luang” masyarakat desa, menuju masyarakat yang kreatif, dinamis, dan mandiri.
Ke lima, tempat menyimpan dokumen desa. Lokal wisdom pedesaan sudah saatnya terdokumentasi dengan baik. Sejarah dan keunikan desa, adat, budaya, serta kepemimpinan desa dari waktu ke waktu bisa terarsip di perpusdes. Signifikansi perpusdes sebagai sarana meriwayatkan desa berbentuk paper book, elektronik book, atau bentuk dokumen digital lain, memiliki fungsi menambah wawasan masyarakat pedesaan serta generasinya adalah hal yang tidak bisa ditawar.
Siapapun tentu tidak sepakat, bila stereotype masyarakat desa selalu diidentikkan dengan “keterbelakangan informasi” namun nihil dari upaya konkrit mengatasinya. Tidak elok pula “mengambinghitamkan” mereka yang tidak mau diajak maju secara nalar, bila pemerintah tidak coba berpikir mendekatkan ruang baca ke hatinya. Berangkat dari sudut pandang inilah, bagi penulis, keberadaan perpusdes menjadi signifikan dan strategisnya. Hal itu ditopang oleh penelitian Asnawi, (2015:45), bila keberadaan perpusdes menjadi pemuas dahaga informasi dan menjadi bagian integral keberhasilan pembangunan desa.
Akhirnya, keberadaan perpusdes -yang kurang optimal- perlu carikan solusi yang solutif bila “ditengarai” Kades/Lurah kurang peduli keberadaannya. Fakta lain, bila di desa belum ada perpusdes, hingga minim dan nihilnya SDM pengelolanya, Pemda perlu mengambil kebijakan prioritas berupa reedukasi bila keberadaan perpusdes punya relevansi terhadap pembangunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Berbagai hal di atas, perlu segera ditangkap oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bojonegoro. Bila persoalannya adalah Kades yang kurang peduli terhadap keberadaan perpusdes, tentu perlu diadakan forum dialog yang tidak mono instansi saja. Akan lebih baik bila aktifis lokal literasi, diajak bekerjasama mengampanyekan perpusdes dan elan vitalnya dalam mencerdaskan masyarakat. Terlebih, sebagaimana kita mafhum, bila perkembangan masyarakat dimulai dari desa.
* Penulis adalah pegiat literasi, Dosen PAI UNUGIRI, Mahasiswa S3 UIN Walisongo dan alumnus At-Tanwir Talun.
Tag : perpusdes, perpustakaan, desa, bojonegoro
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini