Reporter: Rizki Nur Diansyah
blokBojonegoro.com - Masjid yang berada di wilayah perbatasan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Ngawi awalnya dikenal sebagai ikon wisata religi baru. Namun, belakangan masjid tersebut menjadi perhatian publik seiring munculnya wacana pergantian nama. Wacana ini memunculkan beragam respons di tengah masyarakat.
Sejumlah pertanyaan mengemuka, terutama terkait makna penamaan, kaidah kebahasaan, serta prinsip universalitas masjid sebagai ruang ibadah umat Islam. Selain itu, keterkaitan nama dengan latar belakang suku dan budaya tertentu juga menjadi bahan pembahasan.
Selama ini, masyarakat telah memiliki penyebutan tersendiri terhadap masjid tersebut. Nama yang digunakan berkembang secara alami dan digunakan secara luas dalam ruang publik, sehingga membentuk identitas kolektif di tengah masyarakat.
Di tengah pembahasan tersebut, Fraksi PKB DPRD Bojonegoro, Sutikno mengungkapkan, masjid pada hakikatnya merupakan simbol persatuan umat Islam yang bersifat inklusif dan terbuka bagi semua kalangan.
“Masjid adalah milik seluruh umat Islam. Penamaannya seharusnya mencerminkan nilai kebersamaan dan keterbukaan,” ujar Sutikno, Rabu (17/12/2025).
Sutikno menambahkan, perbedaan pandangan terkait penamaan merupakan hal yang wajar dan sebaiknya disikapi melalui dialog yang terbuka dan bijaksana. Menurutnya, pembahasan mengenai nama masjid tidak semestinya mengaburkan fungsi utama masjid sebagai pusat ibadah, dakwah, dan penguatan nilai keagamaan.
Hingga saat ini, wacana pergantian nama masjid tersebut masih menjadi bahan kajian di kalangan akademisi dan masyarakat. Dari sisi kebahasaan, istilah “Samin Baitul Muttaqin” dinilai menimbulkan persoalan makna. Istilah “Samin” merujuk pada ajaran dan komunitas tertentu, sementara “Baitul Muttaqin” bermakna rumah bagi orang-orang yang bertakwa.
Penggabungan kedua istilah tersebut dinilai berpotensi menimbulkan penafsiran beragam dan dianggap dapat mempersempit makna masjid yang sejatinya bersifat universal. Sejumlah kalangan menilai penggunaan nama “Baitul Muttaqin” tanpa tambahan istilah lain lebih sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.
“Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa mencari jalan tengah atas apa yang sedang terjadi adalah suatu keharusan,” jelasnya.
Maka, Sutikno menambahkan, tidak ada salahnya apabila pembangunan museum atau ruang sejarah di sekitar masjid bisa dijadikan pilihan, karena cara ini bisa menjadi bentuk penghormatan yang bijak sehingga identitas kultural dengan fungsi tempat ibadah dapat berjalan beriringan. [riz/mad]
0 Comments
LEAVE A REPLY
Your email address will not be published