Santri di Hari Santri
blokbojonegoro.com | Saturday, 25 September 2021 11:00
Oleh: Usman Roin*
Ada hal menarik disampaikan oleh Rektor Unugiri Bojonegoro, K. H. Jauharul Ma’arif, saat pembukaan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang live virtual pada Jumat (24/9) baru-baru ini. Yakni, term “santri” yang jangan hanya dilihat sebagai person-nya saja. Tetapi, lebih kepada karekteristik yang dimilikinya. Apa yang disampaikan oleh Gus Rektor, bagi penulis menjadi penjelas, bahwa karakteristik santri perlu diketahui agar bisa diadopsi oleh berbagai kalangan guna mewujudkan Indonesia menjadi negara hebat.
Bicara “santri” meminjam terminologi Mahfud Djunaedi (2017:171), adalah siswa ataupun siswi yang hidup di pesantren dalam rangka memperdalam keilmuan agama Islam secara tekun. Alhasil, “santri” kini menjadi icon viral seiring dengan ketetapan HSN sejak 22 Oktober 2015. Hadirnya peringatan HSN, makin mengukuhkan eksistensi santri diberbagai pelosok negeri, yang bagi Gus Rektor, punya karakteristik tersendiri sehingga mampu menginspirasi berbagai kalangan untuk kemudian menjadi perilaku diri.
Karakteristik sebagaimana diungkapkan Gus Rektor tersebut antara lain; haus akan ilmu pengetahuan, sikap pantang menyerah, kemudian jiwa egaliter. Dalam hal karakteristik haus akan ilmu, sosok santri harus selalu memiliki rasa ingin tahu dan tahu akan berbagai khazanah literatur keislaman klasik (kitab kuning) untuk dipelajari, ditelaah, dan dimusyawarahkan. Meminjam bahasa Prof. Abdurrachman Mas’ud (2002:32), menjadi santri tidak boleh lepas dari semangat belajar 24 jam di pesantren. Oleh karenanya, edukasi sehari semalam di pesantren, serta hubungan kyai-santri yang tidak pernah putus adalah implementasi ajaran Nabi yang memberi penekanan keharusan mencari ilmu yang unlimited. Dalam terminologi Islam, familier dengan minal mahdi ilallahdi.
Kehausan di atas menjadi bukti, jiwa keingintahuan santri terhadap keilmuan Islam tinggi. Dan pada wilayah ini pula, semangat santri dalam mencari pengetahuan (kognitif) patut ditiru. Nadhom “Ala la” yang khas diajarkan di pesantren dan madrash menyebut, “Ta’allam fainnal ‘ilma zainun liahlihi, wafadlun wa’inwanun likullil maharibi”. Belajarlah, ilmu adalah perhiasan indah bagi pemiliknya, dan keutamaan baginya serta tanda setiap hal yang terpuji. Atas dasar di atas, menjadi jelas, bahwa ilmu adalah hiasan yang mempercantik person, peng-insertan karakter terpuji, serta penuntun untuk menjadi manusia seutuhnya.
Dalam hal sikap pantang menyerah, karakter santri pada aspek afeksi terpotret pada ketekunan belajar selama di pesantren. Santri sadar, bahwa sikap tekun belajar mendalami kitab demi kitab berfungsi sebagai sarana menghilangkan kebodohan diri sendiri. Apalagi, dengan mukim di pondok, santri tidak sekadar jauh dengan orang tua, tetapi juga dengan berbagai kenyamanan yang sudah dimiliki di rumah. Perjuangan mukim tersebut untuk belajar hidup secara komunal dengan orang lain, menikmati segala keterbatasan sarana yang ada sebagai training yang lazim disebut riyadloh.
Sejarah mencatat, semangat pantang menyerah santri melalui tradisi rihlah telah mengantarkan dua tokoh utama pesantren (Al-Bantani dan Al-Tirmisi), mengembara sepanjang hidupnya hingga menjadi guru besar di Makkah dan Madinah. Fenomena dua master intelektual pesantren ini, kata Prof. Abdurrachman Mas’ud (2002:33), menjadi bukti bahwa ilmu agama tidak ansich milik negara Timur Tengah. Melainkan, ilmuan berlatar belakang sosio-pesantren, telah mampu menandingi ulama mancanegara baik dalam hal tulis menulis berbahasa Arab, maupun dalam hal kegiatan pembelajaran di dunia Islam. Oleh karenanya, dari laku sikap pantang menyerah santri tersebut melatihnya untuk bisa survive di kehidupan nyata mendatang sekembalinya hidup komunal di masyarakatnya.
Adapun yang terakhir, karakteristik santri memiliki jiwa egaliter. KBBI online menyebut egaliter sebagai sederajat atau bersifat sama, yang dalam terminologi Gus Rektor berarti bisa berkawan dengan siapapun. Jiwa bisa berkawan dengan siapa saja membuktikan, bahwa santri dilatih untuk mengerti dengan penuh kerelaan menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda. Terlebih, keragaman di Indonesia tidak bisa dinafikan baik antar suku, adat istiadat, dan golongan. Kewajibannya dalam ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam surat Ali Imran (103), adalah hidup rukun dan bersatu yang diikat oleh tali Islam.
Oleh karena itu, santri di peringatan hari santri tidak boleh kendor kiprahnya. Melainkan siap menginspirasi jiwa dan raga, mencerdaskan masyarakat melalui disiplin ilmu keagamaan yang dimiliki, menuju terbebasnya masyarakat dari kejumudan berpikir. Dan pada sekala nasional, menjadi pejuang penjaga keutuhan NKRI. Akhirnya, selamat hari santri. Mari siagakan jiwa dan raga untuk Indonesia tercinta.
* Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri Bojonegoro dan Pengurus Majelis Alumni IPNU Bojonegoro.
Tag : usman roin, hari santri
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini