Berdirinya Fatayat NU, Buah Kesadaran dari Pentingnya Gerakan Perempuan
blokbojonegoro.com | Tuesday, 23 November 2021 08:00
Oleh: Nidlomatum MR
blokBojonegoro.com - Perempuan dalam struktur masyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan. Perempuan menjadi bagian dari peradaban manusia baik sebagai individu maupun secara kolektif. Sebab, tak bisa dipungkiri, tanpa perempuan maka peradaban manusia pun tak akan ada.
Terkait strata perempuan dalam struktur masyarakat, Pramodya Ananta Toer pernah berkata "perempuan adalah lautan kehidupan, maka hormatilah ia". Ungkapan ini bukan tanpa sebab, namun berdasar pada realitas posisi perempuan yang belum setara, masih inferior dan minim penghargaan padahal secara struktur masyarakat perempuan berkontribusi besar bagi peradaban kehidupan.
Kontruksi sosial yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi tak sebanding ini tentu tak hanya disikapi dengan berdiam diri. Kesadaran akan ketidaksetaraan akhirnya memantik gerakan-gerakan perempuan untuk pemberdayaan, yang di Indonesia secara historis dimulai sejak awal abad 20.
Gerakan ini awalnya dimulai dari perempuan-perempuan terpelajar yang mendapat pengetahuan lebih tentang kesetaraan, yang kemudian berkembang luas hingga ke lapisan perempuan di masyarakat secara umum.
Kesadaran akan gerakan ini tidak hanya menguatkan kapasitas perempuan secara individu tapi juga meningkatkan kesanggupan dan kecakapan mereka dalam berorganisasi. Hal ini menjadi benih-benih munculnya perkumpulan, perhimpunan perempuan yang tumbuh dan berkembang di hampir seluruh daerah di Indonesia kala itu. Salah satu gerakan perempuan yang hadir adalah gerakan perempuan Fatayat Nahdhatul Ulama (FNU) sebagai wadah gerakan perempuan di bawah naungan Nahdhatul Ulama.
Munculnya gerakan perempuan di NU dilatar belakangi faktor internal dan eksternal. Pendirian organisasi perempuan NU secara eksternal dipicu adanya beberapa wadah organisasi perempuan di bawah organisasi induknya, seperti Muhammadiyah, Masyumi dan PKI.
Sementara secara internal hal ini selaras dengan usulan Ketua Umum PBNU, yang saat itu dipegang KH. Mochamad Dahlan. Pada konggres ke XIII di Menes Banten, 11-16 Juni 1938, disinggung tentang perlunya perempuan mendapatkan hak untuk menerima didikan agama dan memiliki kesempatan yang sama melalui NU.
Meskipun sempat menuai pro dan kontra, akhirnya saran ini pun disetujui meskipun saat itu keanggotaan perempuan lebih pada posisi sebagai pendengar dan pengikut tanpa menjabat dalam struktur kepengurusan. Kondisi seperti ini berlangsung hingga Konggres NU ke XV di Surabaya tanggal 5-9 Desember 1940. Pada konggres ini muncul usulan agar perempuan tidak hanya sebagai pendengar tapi bisa turut memiliki struktur kepengurusan sendiri sehingga tidak hanya mengekor PBNU.
Melalui peluang-peluang yang ada, Kiai Dahlan akhirnya mencari kesempatan untuk mendapatkan persetujuan tertulis kepada KH. Hasyim Asy'ari dan juga KH. Wahab Hasbullah agar organisasi perempuan berhak memiliki struktur tersendiri. Usulan positif ini pun disetujui dan dengan mudah peserta konggres yang awalnya kekeuh tidak setuju bisa luluh dan mengabsahkan Muslimat lengkap dengan anggaran dasar dan pengurus besarnya.
Ketika Muslimat NU berdiri, gerakan ini menaungi ibu-ibu di kalangan NU dan memicu ide pendirian organisasi perempuan NU untuk usia pemudi. Ide ini dirintis oleh pemudi tiga serangkai NU, yakni Murthasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo) tepatnya tahun 1940. Dengan cepat ide-ide ini pun berpolarisasi sehingga pada Konggres NU ke XV, putera-puteri NU dari berbagai cabang menggelar musyawarah sendiri dan menyepakati pembentukan wadah Puteri Nahdlatul Ulama Muslimat (Puteri NUM), namun belum disetujui sebagai organisasi terpisah dari NUM.
Upaya-upaya Puteri NUM (sebagai cikal-bakal Fatayat NU) untuk berdiri sebagai organisasi mandiri pun terus dilakukan, meski semua itu tak mudah karena terhalang restu kiai-kiai sepuh.
(Bersambung)
Tag : Sejarah, Fatayat NU, perempuan
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini