Satu Abad NU: Jangan Terjebak Pada Romantisme Politik
blokbojonegoro.com | Sunday, 05 February 2023 12:00
Oleh: Prof.Dr. Nur Syam, M.Si
Imajinasi tentang NU sebagai partai politik tentu tidak bisa dihapus, sebab secara historis bahwa NU memang pernah menjadi partai politik, yang pada pemilu 1955 menjadi empat besar partai politik dengan suara terbanyak. Selain itu juga kiprah NU sebagai partai politik juga tidak diragukan. NU sebagai partai politik kemudian berakhir pada Muktamar di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo, para tahun 1984. Pada tahun ini, maka NU secara structural mengakhiri keterlibatannya dalam dunia politik praktis dengan jargon “kembali ke Khittah 1926”, artinya NU kembali menjadi Jam’iyah sosial keagamaan.
Namun demikian pada masa Reformasi kembali terlibat dalam perpolitikan Nasional melalui didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang diinisiasikan oleh Gus Dur. Kehadiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menandai era baru perpolitikan nasional, dan diharapkan seterusnya akan eksis dalam percaturan politik kenegaraan dan kebangsaan. Keterlibatan NU bukan secara structural, sebab secara institusional NU tetaplah menjadi Jam’iyah diniyah wa ijtima’iyah, dan PKB adalah sayap politik yang memiliki hubungan afinitas dengan NU. Saya menyebutnya sebagai relasi afinitas yang menunjukkan bahwa NU secara modal ideologis, modal psikhologis dan modal kultural memiliki keterkaitan dengan PKB, meskipun hubungan tersebut tidak bersifat saling mempengaruhi.
Modal ideologis, bahwa PKB dan NU keduanya akan memperjuangkan Islam ‘ala Ahli Sunnah wal Jamaah dan akan terus berjuang dari jalur yang berbeda untuk mempertahankan Pancasila, NKRI dan UUD 1945. Jalurnya harus berbeda, sebab PKB akan melalui jalur politik praktis, misalnya lewat parlemen dalam penyusunan regulasi dan kebijakan yang mengarah pada upaya tersebut. Di sisi lain, NU akan memperjuangkan Pancasila, NKRI dan UUD 1945 melalui jalur politik etis yang merupakan upaya untuk menerjemahkan kebijakan politik pada ranah masyarakat melalui dakwah dan pendidikan, serta gerakan sosial dan kultural.
Secara realitas, bahwa NU belum optimal menempatkan relasi afinitas tersebut di dalam relasi antara politik praktis dengan politik etis. Masih dijumpai pernyataan-pernyataan yang nuansanya berada di dalam “kemenyatuan” NU dan politik dengan dalih PKB dilahirkan oleh NU dan di sisi lain juga terdapat pernyataan yang ingin “memisahkan” NU dengan PKB dengan dalil kembali ke Khittah 1926. Keduanya masih sering kontestasi di ruang public melalui forum resmi, misalnya seminar, diskusi, dan sarasehan atau melalui media sosial yang kemudian menjadi trending, yang pro dan kontra.
Sebagai organisasi sosial keagamaan, memang NU tidak bekerja pada wilayah politik praktis. NU harus tetap bekerja dalam ruang non-politis, misalnya pengembangan kehidupan sosial, keagamaan, ekonomi dan kerja kebudayaan untuk kemaslahatan umat. Sedangkan kerja politik praktis dapat dilakukan oleh personal-personal NU yang berada di dalam partai politik sesuai dengan konsep Khittah 1926. NU bisa menjaga jarak politik yang sama antar partai politik, dan dapat memberikan support atas personal NU di dalam partai politik yang memiliki common platform sama dengan NU, menjunjung tinggi Islam ala Ahli Sunna wal Jamaah.
NU dapat menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk kepentingan partai politik, baik di dalam ruang legislative maupun pimpinan nasional dan regional. Dukungan dapat diberikan kepada calon yang “berdarah biru NU” dalam kapasitas politik etis dan bukan politik praktis. Eksponen NU structural tentu dapat memisahkan diri dalam politik praktis dengan menjaga bahwa NU akan tetap berada di dalam ruang “steril” politik praktis. Dukungan dan support dapat diberikan dengan membangun kesepahaman “internal” siapa yang pantas didukung dan dipastikan peluangnya besar untuk berhasil dalam kiprah politiknya.
Bagi para politisi juga harus kembali kepada ikatan primordialnya, bahwa NU adalah segala-galanya, yang secara politis etik telah mengetahui siapa yang seharusnya didukung dan siapa yang kurang didukung dengan memperhatikan sejumlah indicator pengabdian dan keterlibatannya di dalam menggelorakan ke-NU-an di kalangan masyarakat. Inilah yang rumit sebab kebanyakan “kepentingan” pribadi lebih menonjol ketimbang “kepentingan” NU secara institusional. Bahkan juga tidak tertutup kemungkinan terjadi kontestasi antara NU dan partai politik, yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Partai politik tetangga kita sudah bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk memberikan donasi bagi para guru madrasah, ustadz pesantren dan bahkan tokoh-tokoh NU di masing-masing wilayah untuk menjadi vote getter atau bahkan mencalonkan diri untuk menjadi anggota legislative dan sudah dibuktikan strategi ini sangat manjur. Sementara itu, NU dengan partai politik, misalnya PPP dan PKB masih saling berebut siapa yang layak untuk menempati ruang-ruang public penting di negeri ini. Seringkali ketiadaan kesepakatan tersebut lalu menjadi factor penentu kekalahan tokoh NU dalam kontestasi politik.
Kenyataan ini memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa di tengah semakin menguatnya demokrasi electoral ini siapa yang bisa menguasai massa melalui berbagai macam strategi, maka dialah yang akan memenangkan pertarungan politik. Dan mereka adalah representasi dari masyarakat pengusungnya.
Di tengah realitas sosial tersebut, maka NU harus semakin cerdas menempatkan diri dalam kawasan pengembangan SDM bertalenta politis dan ekonomis agar kemudian terbangun literasi politik dan kekuatan ekonomi yang tetap berada di dalam konteks Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Sumber: Nursyamcentre.com
*Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus Founder Nursyam Centre (NSC) dan Friendly Leadership Training.
Tag : Nursyam, romantisme, politik
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini