Titik Temu Prasasti Canggu dan Adan-adan
blokbojonegoro.com | Monday, 19 September 2022 21:00
Oleh: Didik Wahyudi*
blokBojonegoro.com - Dugaan adanya kesamaan sebutan antara Desa Kawangen yang disebut di Prasasti Canggu masa raja Hayam Wuruk sebagai Desa Pelabuhan Bengawan Solo, dan Kawengan sebagai batas wilayah swatantra hadiah Raja Majapahit Dyah Wijaya ke Rajarsi, pendeta istana yang setia kepada raja sampai saat ini belum terjawab dan belum ada referensinya. Apakah ada kesamaan maksud sebutan dari dua prasasti tersebut ataukah tidak, masih gelap jalan petunjuk ke arah sana.
Tetapi dari kajian metatesis kedua kata Kawengan dan Kawangen pengucapan terdengar sama. Weng dalam bahasa Jawa kuno dimaknai sebagai pecahan gerabah, atau bahasa Jawa modern kreweng, pecahan genteng. Untuk menguatkan hal tersebut membutuhkan kajian lanjut dan bukti arkeologis baik di Kawengan saat ini atau nama tempat lain.
Pemahaman soal sejarah memang kadang misterius dan makin menarik untuk dicari jawabannya, sejarah juga dinamis sesuai temuan data terbaru dan bukti terbaru bisa menambah referensi catatan yang telah ada atau bisa jadi mengubah arah pemahaman sejarah tersebut.
Seperti dugaan awal adanya titik temu dalam kajian metatesis, kata Kawangen dan Kawengan dari Prasasti Canggu dan Prasasti Adan-adan masih buntu dan belum terjawab, terkait ataukah tidak ndilalah mendapatkan jawaban unik titik temu sisi lain dari data lapangan dan ingatan kolektif masyarakat Desa Mayangrejo Kecamatan Kalitidu.
Di Prasasti Canggu yang kini sudah berusia 664 tahun sejak dibuat jaman raja Majapahit Hayam Wuruk 1358 M menyebut nama-nama naditira pradeca, desa pelabuhan sungai atau ferry charter atau bahasa Jawa kekinian tambangan diantaranya menyebut nama i Sumbang, i Malo, i Ngijo, i Kawangen dan i Sudah.
Nama-nama desa tepian sungai Bengawan Solo tersebut sampai sekarang masih bisa ditemui di wilayah Bojonegoro. Tapi kondisi daerah aliran sungai Bengawan Solo di masa lalu ratusan tahun lalu dengan kondisi sekarang mengalami perubahan-perubahan, pergeseran aliran sungai karena faktor alam.
Beberapa desa di masa lalu, ratusan tahun lalu berada di tepian sungai Bengawan Solo tapi di masa sekarang makin jauh dengan tepian sungai. Pergeseran aliran sungai tersebut bisa diketahui dengan bukti ilmiah jejak geologis sungai berupa jejak hewan-hewan kerang sungai yang masih ditemukan.
Fenomena alam ini bisa diketahui dengan desa pelabuhan sungai seperti dalam prasasti canggu yang disebut i ngijo atau ngijo. Nama tempat Ngijo secara ingatan kolektif warga desa Mayangrejo masih ditemukan, lokasinya berada di wilayah belakang balai desa Mayangrejo atau di sekitar makam tua Mbah Suro Rejo dan Mbah Kromo Joyo.
Di sekitar sini jejak geologis aliran sungai Bengawan Solo ditemukan, ada bekas cekungan-cekungan tanah yang banyak ditemukan kerang sungai. Jejak geologis ini cocok dengan nama Ngijo dalam prasasti Canggu sebagai Desa pelabuhan sungai, Naditira Pradeca. Tapi nama Ngijo dalam administrasi desa sudah tak tercatat berganti dengan nama dusun lain.
Ndilalah di Ngijo inilah lokasi ditemukan Prasasti Adan-adan pada tahun 1992 oleh Marjuki dan Panisih, pasangan suami istri warga desa Mayangrejo Kecamatan Kalitidu. Sang suami Marjuki sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu, sementara Panisih yang sudah berusia 60 tahun masih mengingat betul saat menggali tanah untuk tanah uruk pondasi rumah menemukan 17 lempengan tembaga, lempengan inilah yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Adan-adan. Prasasti yang sudah berusia 721 tahun lalu atau dibuat jaman raja pertama Majapahit, Dyah Wijaya 1301 M.
Panisih bercerita bahwa lempengan-lempengan tembaga sebanyak 17 lembar tersebut terpendam dalam tanah di dalam kotak tembaga yang sudah sangat rapuh dan ambyar. Hingga kemudian prasasti Adan-adan tersimpan di museum Museum Mpu Tantular.
Adan-adan dalam ingatan kolektif warga desa Mayangrejo Kecamatan Kalitidu lebih dikenal dengan sebutan "sawah Ngandan-ngandan" yang lokasinya berada di sebelah selatan desa, menyeberang rel kereta api dari arah kantor desa. Sawah ngandan-ngandan sekarang berubah nama menjadi Dusun Ngenden masuk wilayah Desa Mayangrejo Kecamatan Kalitidu.
Dan memang dalam prasasti Adan-adan menyebut Sri Maharaja Nararyya Sanggramawijaya (Dyah Wijaya) menyebut pembebasan sawah atau wilayah swatantra sebagai hadiah untuk Sri Paduka Rajarsi, pendeta istana yang setia terhadap Raja. Sawah ngandan-ngandan dan sekarang menjadi Dusun Ngenden yang menjadi ingatan kolektif warga Desa Mayangrejo ratusan tahun lalu merupakan tanah sima untuk seorang perempuan Rajarsi.
Batas-batas wilayah swatantra untuk Rajarsi tersebut sampai sekarang masih bisa ditemui menjadi nama-nama Desa diantaranya Tinawun, Kawengan dan Jajar di Desa Petak Kecamatan Malo. Sementara batas-batasnya secara lengkap diantaranya Desa Tinawun, Kawengan, Jajar, Patambangan, Tambar, Padasan, Punten, Rakameng, Kubwan-agede (Kebo-gede), Paran, Panjer dan Sanda.
Titik temu Prasasti Canggu dan Prasasti Adan-adan itu di Desa Mayangrejo Kecamatan Kalitidu Bojonegoro. Prasasti Canggu menyebut Ngijo sebagai Desa pelabuhan penyebrangan perahu berada di Desa Mayangrejo, Prasasti Adan-adan ditemukan di Ngijo masih wilayah Desa Mayangrejo, Sawah Adan-adan berada di Dusun Ngenden Desa Mayangrejo Kecamatan Kalitidu. Dan menurut Profesor Aris Munandar sosok Rajarsi tersebut pernah hidup di Kawasan Kalitidu Bojonegoro, bisa jadi pernah hidup di dusun Ngenden Desa Mayangrejo Kecamatan Kalitidu.
*Penulis adalah Ketua Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten Bojonegoro
Tag : Ppkd, Bojonegoro, prasasti, Adan-adan, Canggu
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini