Menjadikan Masjid Sarana Literasi
blokbojonegoro.com | Monday, 31 May 2021 20:00
Oleh: Usman Roin *
Literasi secara kebahasaan memiliki arti kemampuan menulis dan membaca. Secara luas, literasi bisa dimaknai kemampuan seseorang dalam mengolah informasi dan pengetahuan kekinian yang hadir, kemudian dipergunakan untuk membangun kecakapan hidup (life skill). Bila “literasi” disandingkan dengan masjid, artinya masjid memiliki tempat untuk membaca literatur keislaman kekinian, kemudian bisa memproduksi secara mandiri menjadi produk karya tulis baru berbentuk buletin, majalah, hingga buku serta konten informasi berbasis digital.
Bicara masjid, melalui aktifitas literasi yang tumbuh, menurut Ahmad Yani (2018;45), hakikatnya adalah ikut mewujudkan fungsi pendididkan (tarbiyah) masjid. Tujuannya, agar umat Islam semakin cerdas memahami ajarannya secara menyeluruh (syamil) dan sempurna (kamil), yang itu memiliki korelasi terhadap pengamalan atau pemanfaatan terhadap kebaikan baik secara teologis maupun sosiologis. Apalagi dalam Tesis penulis (2020:6), terwujudnya fungsi pendidikan di masjid, masih minim di tengah dominasi fungsi peribadatan (ubudiyah) yang jamak kita saksikan.
Wujud Literasi
Bentuk dari literasi berbasis masjid, hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, literasi secara kovensional. Dalam hal literasi secara konvensional, Ahmad Yani (2018:47) menyebut dengan perpustakaan masjid. Yakni, tempat atau sarana membaca yang khusus disediakan masjid baik berupa buku, kitab (tafsir, hadis), majalah, hasil penelitian (skripsi, tesis, disestasi hingga jurnal), koran, majalah, buletin, yang berguna untuk memperkaya wawasan jemaah selepas aktifitas ubudiyah.
Dalam kaitan dengan manajemen perpustakaan masjid, sudah saatnya takmir masjid mengalokasikan pembelian buku setiap bulannya, sembari pula membuka donasi buku dari para penyumbang. Takmir masjid juga perlu memperluas jaringan kerjasama utamanya dengan Perguruan Tinggi (PT) berbasis Islam, untuk bisa mendapatkan hasil karya penelitian kekinian untuk kemudian bisa dinikmati oleh jemaah masjid. Bisa juga takmir masjid bekerjasama dengan para penerbit untuk mendapatkan hibah buku, hingga pembelian yang berdiskon, sebagai upaya memenuhi kebutuhan jemaah masjid dalam hal daya baca.
Jika hal di atas diwujudkan, artinya takmir masjid sudah siap melangkah bahwa fungsi pendidikan masjid melalui keterwujudkan perpustakaan masjid dijalankan dengan baik. Tujuannya, sebagai upaya membangun kecerdasan jemaah masjid. Oleh karenanya, terkait perwujudkan literasi konvensional, ruang perpustakaan masjid perlu disediakan utamanya bagi masjid-masjid yang memiliki luas yang mencukupi. Selain itu, penyediaan tenaga perpustakaan juga perlu dipenuhi. Bisa dengan mencari mahasiswa yang diminta menjadi marbot masjid, atau bekerjasama dengan remaja masjid dengan waktu baca yang telah ditentukan dalam melayani peminjaman atau pengembalian buku.
Ke dua, literasi digital. Dalam hal literasi digital, masjid sudah saatnya memiliki website, blog, dan akun medsos (facebook, instagram, twitter), hingga youtube. Tujuannya adalah memperkaya literasi positif digital berbasis masjid hasil olah pikir jemaah. Jika demikian, agenda program masjid akan tertata, terprogram, dan dilaksanakan tidak sekadar asal-asalan. Melainkan dipersiapkan dengan sedemikian rupa, untuk kemudian dibranding lewat akun medos yang dimiliki masjid, hingga website atau blog masjid.
Untuk mensukseskan hal di atas, Ahmad Yani (2021:48-51) mengusulkan agar masjid banyak menggelar aneka pelatihan untuk remaja masjid. Mulai dari pelatihan jurnalistik untuk melahirkan kader-kader yang trampil menulis (news, opini, features, resensi buku dan lain-lain), editing video untuk memproduksi video dengan kualitas menarik, serta desain grafis untuk mendesain flayer, spanduk sebagai informasi kegiatan masjid. Terlebih menurut Prof Richardus Eko Indrajit mengutip Maskus, dalam bunga rampai buku “Tata Kelola Teknologi Informasi” (2016:7), di ekojichannel.id, bahwa peranan teknologi informasi ketika sudah dirancang atau didesan sedemikian rupa, akan memiliki beberapa pengaruh. Salah satunya, fungsi komunikasi atau sarana individu, lembaga, perusahaan dan lainnya untuk membangun komunikasi, kolaborasi, koorporasi, hingga interaksi.
Jika demikian, histori kegiatan masjid akan terdokumentasi secara rapi. Terlebih, bila konten-konten yang dibuat dan diposting itu banyak yang melihat hingga viral dalam hal positif, bisa menjadi inspirasi masjid-masjid lain yang menduplikasi program yang sama untuk kemudian memodifikasi sesuai dengan kontek lokal wisdom masjid.
Akhirnya, literasi digital berbasis masjid adalah suatu yang urgen untuk dilaksanakan guna mengorganisir keberadaan masjid, mengutip simas.kemenag.go.id, per 31 Mei 2021 masjid mencapai 278.184 bangunan dan 327.136 musala, untuk ikut memproduksi konten-konten positif berbasis lokal wisdom. Adapun secara kovensional melalui keberadaan perpustakaan masjid, jemaah menjadi tidak sempit wawasan keislamannya dan pemakmuran masjid menjadi terwujud. Semoga!
*Usman Roin, M.Pd., adalah Alumnus Magister PAI UIN Walisongo Semarang serta Pengurus Tim Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Masjid PD DMI Kota Semarang.
Tag : literasi, masjid, menulis, membaca
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini